Minggu, 25 Mei 2014

Tugas 2 : Karya Tulis "Kerukunan Antar Agama"

Disusun Oleh :
 YogiPrananda

Fakultas Ilmu Komputer

Jurusan Sistem Komputer
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014 

Kata Pengantar


Puji syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa sehinnga penulisan Karya Ilmiah yang berjudul “Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia” ini bisa terselesaikan. Penulisan Karya Ilmiah ini terdorong oleh kenyataan yang ada,bahwa saat ini perang agama,masih saja terjadi,bukan hanya di Indonesia,di Negara-negara lain juga masih ada perang agama.

Seperti yang kita ketahui bersama,Agama sangat berkaitan dengan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,seperti pada Pancasila,yaitu sila pertama,yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam agama terdapat ajaran, ibadah, dan kewajiban. Agama merupakan gejala universal dalam kehidupan manusia. Sebagian besar umat manusia di bumi ini, dengan latar belakang etnis, geografis, iklim, dan budaya, menganut salah satu agama. Agama telah ada sejak manusia ada, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju, manusia tetap membutuhkan agama. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat memberi jawaban atas pernyataan mengenai arti, asal, dan tujuan hidup manusia. Akan tetapi, agama dapat menjawab semua pertanyaan tersebut . Dengan demikian, manusia beragama untuk memperoleh pembenaran praktik hidup yang baik dan berguna.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan penulisan Karya Ilmiah ini. Apabila ada kesalahan dalam penulisan Karya Ilmiah ini,penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Jakarta, 25 Mei 2014


Penulis


Daftar Isi


Kata Pengantar ......................................................................................................... i

Daftar Isi ..................................................................................................................... ii
Abstrak ........................................................................................................................ 1
Bab I : Pendahuluan ................................................................................................. 3
1.1. Latar Belakang ................................................................................................... 3
1.2. Batasan masalah .............................................................................................. 6
1.3. Teknik Dan Analisa ........................................................................................... 10
1.4. Sistematika Penulisan ..................................................................................... 10
Bab II : Landasan Teori ............................................................................................ 11
2.1. Metode Penelitian .............................................................................................. 11
2.1.1. Pendekatan dan Wilayah Studi .................................................................... 11
2.1.2. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ........................................ 11
Bab III : Hasil dan Analisis ........................................................................................ 13
3.1. Pengertian dan latarbelakang perlunya dialog ............................................. 13
3.2. Perlengkapan Dialog ......................................................................................... 14
3.3. Prinsip dasar dan norma dalam Dialog ......................................................... 16
3.4. Tujuan dialog ....................................................................................................... 18
3.5. Bentuk-bentuk Dialog ......................................................................................... 20
3.6. Hambatan dialog dan kerukunan ..................................................................... 23
3.6.1. Problem Penafsiran ......................................................................................... 23
3.6.2. Klaim Kebenaran (truth claim) ....................................................................... 23
3.6.3. Standar Ganda .................................................................................................. 24
3.6.4. Tantangan Agama-agama Dewasa ini ........................................................ 26
Bab IV : Penutup ........................................................................................................... 29
4.1. Kesimpulan ........................................................................................................... 30
Daftar Pustaka .............................................................................................................. 29



Abstrak


Agama merupakan sesuatu yang diyakini dan dipahami oleh manusia.Suatu keyakinan bisa tampak manakala diekspresikan dalam berbagai tindakan. Tindakan manusia beragama itu merupakan penerapan konkrit dari nilai-nilai yang dimiliki manusia. Oleh karena itulah, Smith mencoba memahami dan sekaligus “mempersoalkan” agama berdasarkan apa yang diyakini dan diperbuat oleh manusia beragama, sebab, kebenaran itu justru muncul berdasarkan apa yang dipahami dan dilakukan oleh manusia.

Atas dasar itu, keberagamaan seseorang bagaimanapun akan di-pengaruhi oleh struktur sosial, po-litik dan kultural setempat dimana agama itu hidup dan berkembang. Dalam konteks ini, misalnya, kenapa “perwujudan” Islam di Indonesia bisa dibedakan dengan Islam di Arab Saudi, Pakistan, Mesir, atau di tempat lainnya ? Demikian juga, kenapa Hindu di India berbeda dengan Hindu di Bali ? Dari sinilah, maka setiap agama tidak dapat dipisahkan dari cirinya yang “kompromistis” atau “akomodatif”. Sifat akomodatif terletak pada penghampiran manusia terhadap agamanya yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial, kultur dan politis dimana ia hidup. Tentu saja, pandangan itu lebih bersipat sosial antropologis. Sebaliknya, sebagai sistem keyakinan, agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan suatu masyarakat dan menjadi pendorong tindakan-tindakan anggota masyarakat supaya tetap berjalan sesuai dengan niali-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya.
Berdasarkan fakta historis, bahwa tindakan-tindakan beragama akan berhadapan dengan realitas-realitas keyakinan yang beragam. Oleh karena itu, maka, bagaimana keyakinan seseorang mendefinisikan diri di tengah-tengah agama-agama lain. Dan, semakin berkembangnya pemahaman mengenai pluralisme agama, maka berkembang pula suatu paham teologia religionum, yaitu suatu faham yang menekankan pentingnya dewasa ini untuk berteologi dalam konteks agama-agama.
Dalam konteks itulah, penelitian ini berusaha untuk memahami dan mendeskripsikan landasan etis dan normatif dialog kerukunan. Termasuk didalamnya mendeskripsikan seperangkat persyaratan dan perlengkapan dialog; serta mengungkapkan berbagai peluang dan hambatan dalam proses dialog sehingga diharapkan dapat menghasilkan sebuah model dialog kerukunan antar agama, khususnya di Indonesia.



BAB I

Pendahuluan


1.1. Latar Belakang

Dalam bahasa sehari-hari, sering kita menemukan dua istilah ‘agama’ dan ‘keberagamaan’. Dalam pandangan saya, juga para penstudi agama pada umumnya, agama adalah seperangkat doktrin, kepercayaan, atau sekumpulan norma-norma dan ajaran-ajaran Tuhan yang bersifat universal dan mutlak kebenarannya. Sedangkan keber-agamaan, adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan atau ajaran-ajaran Tuhan, yang tentu saja karena penyikapannya itu men-jadi bersipat relatif, termasuk kebenarannya pun menjadi bernilai relatif pula. Sebab, setiap penyikapan terikat oleh sosio-kultural; dan setiap lingkungan sosio-kultural terten-tu ini sangat mempengaruhi terhadap pemahaman seseorang tentang agamanya. Maka, dari sinilah akan muncul keragaman pandangan dan faham keagamaan, sekalipun dalam kepenganutan agama yang sama.
Penyikapan dan pandangan yang bermacam ragam itu, sebagaimana secara intuitif ditangkap oleh Scheilermacher, sebenarnya semakin menunjukkan adanya kesatuan di antara (para penganut) agama-agama. Ia mengatakan, bahwa “semakin pesat kemajuan dalam agama, akan semakin nampak bahwa dunia keagamaan adalah satu kesatuan yang tak terbagi”. Demikian pula, Max Muller, seorang perintis Ilmu Perbandingan Agama, yang mengatakan bahwa : “hanya ada satu agama universal dan abadi yang melingkupi, mendasari dan melampaui semua agama-agama yang di situ mereka termasuk atau dapat dimasukkan”.
Dengan demikian, agama adalah “sesuatu yang diyakini dan dipahami manusia”. Keyakinan ini bisa nampak manakala diekspresikan oleh manusia atau sebagai penerapan konkrit nilai-nilai yang dimiliki manusia . Smith mencoba “mempersoalkan” agama berdasarkan apa yang diyakini dan diperbuat manusia, karena kebenaran itu muncul berdasarkan yang dipahami oleh manusia. Keberagamaan seseorang, bagaimanapun akan dipengaruhi oleh struktur sosial, politik dan kultural setempat dimana agama itu hidup dan berkembang. Dalam konteks ini, kenapa “perwujudan” Islam di Indonesia bisa dibedakan dengan Islam di Arab Saudi, Pakistan atau Mesir ? Juga, kenapa Hindu di India berbeda dengan Hindu di Bali ? Maka, setiap agama tidak dapat dipisahkan dari cirinya yang “kompromistis” atau “akomodatif”. Sifat akomodatif terletak pada penghampiran manusia terhadap agamanya yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial, kultur dan politis dimana ia hidup. Tentu saja, pandangan itu lebih bersipat sosial antropologis. Sebaliknya, sebagai sistem keya-kinan, agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan suatu masyarakat dan menjadi pendorong tindakan-tindakan anggota masyarakat supaya tetap berjalan sesuai dengan niali-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya .
Berdasarkan fakta historis, bahwa sistem nilai plural adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin berubah, di ubah, di lawan, dan diingkari. Barangsiapa yang mencoba me-ngingkari hukum kemajemukan budaya, maka akan timbul fenomena pergolakan yang tidak berkesudahan. Boleh dikatakan bahwa memahami pluraritas agama dan budaya merupakan bagian dari memahami agama. Sebab, memahami agama pada dasarnya adalah juga memahami kebudayaan masyarakat secara menyeluruh. Dan, jika agama dipahami secara integral dengan kondisi sosial kulturalnya, pada saat itu pula akan tampak dengan sendirinya mana aspek budaya yang selaras dengan misi agama dan mana yang tidak.
Sejalan dengan pluralitas dalam beragama itu, problem paling besar dalam kehidupan beragama dewasa ini yang ditandai oleh kenyataan pluralisme adalah “bagaimana teologi dari suatu agama mendefinisikan diri di tengah agama-agama lain . Semakin berkembangnya pemahaman mengenai pluralisme agama, berkembang pula suatu paham teologia religionum, yaitu suatu faham yang menekankan pentingnya dewasa ini untuk berteologi dalam konteks agama-agama.
Oleh karena itu, dalam konteks kehidupan beragama yang pluralistis diperlukan suasana saling pengertian dan saling menghormati di antara berbagai penganut agama. Salah satu cara untuk sampai pada suasana “rukun”, saling pengertian dan menghormati itu adalah melalui upaya “dialog antaragama”. Masing-masing agama memiliki prinsip dasar dan cara tersendiri dalam berdialog. Prinsip ini bisa berasal dari norma-norma masing-masing agama, bisa juga berasal dari pengalaman-pengalaman pribadi manusia beragama, baik pengalaman langsung maupun pengalaman atas dasar memahami fenomena beragama.
Atas dasar itu, masalah yang akan diteliti adalah :
1) Bagaimana latarbelakang, maksud, dan tujuan dialog antaragama.
2) Bagaimana persyaratan dan kelengkapan dialog.
3) Bagaimana norma dan etika dalam berdialog.
4) Bagaimana bentuk-bentuk dialog.
5) Bagaimana peluang dan hambatan dialog itu.

Adapun tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1) Untuk memahami dan mendeskripsikan landasan etis dan normatif dialog kerukuna.
2) Untuk memahami dan mendeskripsikan seperangkat persyaratan dan perlengkapan dialog.
3) Untuk memahami dan mendeskripsikan berbagai peluang dan hambatan dalam proses dialog.
4) Diharapkan menghasilkan sebuah model dialog kerukunan antar agama.

Sedangkan kegunaan atau tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 

1) diperolehnya data tentang landasan etisnormatif dan teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli yang terkait dengan gagasan dialog kerukunan.
2) terbangunnya rumusan dan rancangan yang jelas dan sistematis tentang prinsip-prinsip dasar dan norma-norma dalam dialog kerukunan.
3) diperolehnya segi-segi yang produktif dan positifrekonstruktif dari kehadiran model dialog kerukunan.
4) sebagai pengkayaan tradisi intelektualisme yang bisa memberikan konstribusi bagi dunia akademik, khususnya di lingkungan IAIN, dan masyarakat yang cinta akan kerukunan.


1.2. Batasan Masalah

Dalam studi keagamaan, seringkali dibedakan antara ‘religion’ dengan ‘religiosity’. Religion biasa dialih bahasakan menjadi “agama” yaitu himpunan doktrin, ajaran, serta hukum-hukum yang telah baku, yang diyakini sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk manusia. Sedangkan religiositas, istilah ini lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang berdasarkan pada nilai-nilai keagamaan yang diyakininya. 
Dalam kehidupan para penganut agama, antara doktrin dan peng-hayatannya tidak bisa dipisahkan. Keduanya menunjukkan dinamika kehidupan dalam beragama. Pada sisi lain, pengungkapan keyakinan agama seseorang atau sekelompok orang, akan berhadapan dengan berbagai keyakinan agama yang beragam. Oleh karena itu, beberapa pandangan, teori, dan berbagai pengalaman telah muncul berkaitan dengan, bagaimana keyakinan seseorang atau sekelompok orang bisa hidup berdampingan secara aman, damai, dan rukun dengan berbagai keyakinan lain yang berbeda.
Berbagai pandangan dan teori dalam mempelajari dan me-mahami keragaman dalam ber-agama itu banyak ditemukan. Setidaknya, tiga pendekatan yang se-ring digunakan : pendekatan teologis, politis, dan sosial kultural. Untuk pendekatan kedua dan ketiga, bia-sanya dikelompokkan pada pendekatan teoritis. Pendekatan teologis tiada lain adalah mengkaji hubungan antar agama berdasarkan sudut pandang ajaran agamanya masing-masing. Bagaimana doktrin-doktrin agama “menyikapi” dan “berbicara” tentang agamanya dan agama orang lain. Sedangkan pendekatan teoritis melalui analisis politis dilihat dalam konteks “kerukunan” dengan maksud untuk melihat, bagaimana masing-masing (penganut) agama memelihara ketertiban, kerukunan dan stabilitas suatu masyarakat yang multi agama. Sedangkan pendekatan kultur atau budaya adalah untuk melihat dan memahami karakteristik suatu masyarakat yang lebih menitikberatkan pada aspek tradisi yang berkembang dan mapan, dimana agama dihormati sebagai sesuatu yang luhur dan sakral yang dimiliki oleh setiap manusia atau masyarakat. Tradisi “rukun”, menjadi simbol dan sekaligus sebagai karakteristik sebuah masyarakat yang telah berjalan sejak lama dan turun temurun. Konsep “kerukunan hidup antarumat beragama”, misalnya, bisa dianalisis melalui pendekatan politis maupun kultural. Konsep itu, lebih menitik beratkan pada muatan politis dan kulturalnya ketimbang teologis, karena aga-ma begitu nyata terlibat dalam dunia manusia yang tidak lepas dari kecenderungan politis dan kultural-nya.
Melalui kajian teologis, kita bisa memahami teks-teks masing-masing agama berkenaan dengan penyikapan agamanya dengan agama orang lain. Oleh karena itu, buku-buku yang di tulis oleh para ulama dan cendekiawan agama berkenaan dengan penyikapan agama masing-masing itu, sangat membantu kita dalam memahami doktrin-doktrin agama berkenaan dengan hubungan antar agama. Apakah aspek ekonomi, politik, sosial budaya, dan lain sebagainya. Sedangkan, dari pandangan politis, kita bisa melihat dari ideologi sebuah masyarakat atau negara yang dimilikinya. Ideologi ini sangat mempengaruhi terhadap hubungan masing-masing agama. Pada sebuah negara yang bertipe “demokratis” (umumnya di Barat), misalnya, maka hubungan antar agama akan bersipat demokratis pula, tetapi lebih memiliki kecen-derungan bahwa agama itu hanya milik individu dan bersipat internal. Sebaliknya, pada sebuah masyarakat yang tidak atau semi demokratis (umumnya di Timur), cenderung sosok agama bersipat eksklusif, masing-masing umat beragama ingin menampakkan dan menonjolkan agamanya sebagai satu-sa-tunya sumber semua aspek kehidupan manusia, tetapi sulit diwu-judkan dalam praktek-praktek ber-bangsa dan bernegara, karena berbenturan dengan agama-agama lain dan tradisi atau budaya lainnya yang telah berkembang cukup lama.

Di Indonesia, teori yang diajukan oleh para agamawan (juga cendekiawan) terbatas pada dua aspek : Pertama, dari sisi ‘konsep kerukunan’, yakni pemaparan teologis masing-masing agama. Kedua, pada aspek ‘dialog’ antar cendekiawan yang diwujudkan dalam bentuk hubungan antar lembaga formal. Tetapi, hubungan antar lembaga formal ini baru bersipat seremonial, belum pada tataran konsepsional. Munculnya “orde reformasi”, menampakkan kelemahan pada konsep kerukunan umat beragama yang sudah di buat dan dipublikasikan. Ternyata, konsep itu bisa berjalan lebih bersipat pendekatan “keamanan” diban-dingkan “kesadaran”. Maka, secara praktis, dialog keagamaan harus berangkat dari kesadaran beragama. Sebab, kesadaran beragama lahir dari pengetahuan dan pengalaman beragama.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setiap agama memiliki kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran sosiologis, klaim kebenaran berubah menjadi simbol agama yang dipa-hami secara subyektif oleh setiap pemeluk agama. Ia tidak lagi utuh dan absolut. Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknai dan dibahasakan. Sebab keperbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang yang diambil peyakin dari konsepsi ideal turun ke bentuk-bentuk normatif yang ber-sipat kultural. Dan ini yang biasanya di gugat oleh berbagai gerakan keagamaan (harakah) pada umumnya. Sebab mereka mengklaim telah memahami, memiliki, dan bahkan menjalankan secara murni dan konsekuen nilai-nilai suci itu. Keyakinan tersebut menjadi legitimasi dari semua perilaku pemak-saan konsep-konsep gerakannya kepada manusia lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan mereka. Armahedi Mahzar menyebutkan bahwa absolutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstrimise, dan agresivisme adalah “penyait” yang biasanya menghinggapi aktifis gera-kan keagaman. Absolutisme adalah kesombongan intelektual; ekslusivisme adalah kesombongan sosial; fanatisme adalah kesombongan e-mosional; ekstremisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap; dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik. Tiga penyakit pertama adalah wakil resmi kesombongan (‘ujub). Dua penyakit terakhir adalah wakil resmi sipat berlebih-lebihan.
Kita memang sulit melepaskan kerangka (frame) subyektivitas ketika keyakinan pribadi berhadapan dengan keyakinan lain yang berbeda. Sekalipun ada yang berpendapat bahwa kerangkan subyektif adalah cermin eksistensi yang alamiah. Lagi pula, setiap manusia mustahil menempatkan dua hal yang saling berkontradiksi satu sama lain dalam hatinya. Dengan begitu, kita tidak harus memaksakan inklusivisme “gaya kita” pada orang lain, yang menurut kita eksklusif. Sebab, bila hal ini terjadi, pemahaman kita pun sebenarnya masih terkungkung pada jeratjerat eksklusivisme, tetapi dengan menggunakan nama inklusivisme.
Dari sisi lain, yang nampak ke permukaan adalah, bahwa terjadinya konflik antar agama muncul bisa sebagai akibat kesenjangan ekonomi (kesejahteraan), perbedaan kepentingan politik, ataupun perbedaan etnis. Akhirnya konsep kebenaran dan kebaikan yang berakar dari ideologi politik atau wahyu Tuhan sering menjadi alasan pembenar penindasan kemanusiaan. Hal ini pun bisa terjadi ketika kepentingan pembagunan dan ekonomi atas nama kepentingan umum sering menjadi pembenar tindak kekerasan. Ditambah pula dengan klaim kebenaran (truth claim) dan watak misioner dari setiap agama, peluang terjadinya benturan dan kesalah pengertian antar penganut agama pun terbuka lebar, sehingga menyebabkan retaknya hubungan antar umat beragama. Untuk hubungan eksternal agama-agama, maka penting dilakukan dialog antar agama. Sedangkan untuk internal agama, diperlukan reinterpretasi pesan-pesan agama yang lebih menyentuh kemanusiaan yang universali. Dalam hal ini, peran para tokoh agama lebih dikedepankan.
Dengan demikian, pluralisme bisa muncul pada masyarakat dimanapun ia berada. Ia selalu mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin cerdas dan tidak ingin dibatasi oleh sekat-sekat sektarianisme. Pluralisme harus dimaknai sebagai konsekuensi logis dari Keadilan Ilahi bahwa keyakinan seseorang tidak dapat diklaim benar dan salah tanpa mengetahui dan memahami terlebih dahulu latar belakang pembentukannya, seperti lingkungan sosial budaya, referensi atau informasi yang diterima, tingkat hubungan komunikasi, dan klaim-klaim kebenaran yang dibawa dengan kendaraan ekonomi-politik dan kemudian direkayasa sedemikian rupa demi kepentingan sesaat, tidak akan diterima oleh seluruh komunitas manusia manapun. Maka, tema pokok penelitian ‘dialog kerukunan dalam beragama’, atau kepenganutan agama dalam konteks pluralisme keya-kinan agama menjadi sangat penting untuk dipahami, diluruskan, dan ditindaklanjuti dalam aktifitas kehidupan beragama, sehingga secara esensial dapat diketahui, dipahami, dan diamalkan oleh para penganut agama ketika bersinggungan dan berhadapan dengan para penganut yang berbeda keyakinan. Dialog menjadi salah satu media penting bagi terwujudnya keharmonisan antaragama, karena berpijak dari nilai akademis (intelek-tual), pengalaman dan kesadaran dalam beragama.

1.3. Teknik dan Analisis Data

Terhadap data-data yang terkumpul, peneliti membagi ke dalam dua tahap, yaitu tahap proses dan analisis. Pada tahap proses ditempuh dengan cara mengorganisir, menyusun kategori dan tipologi, dan mengedit data-data yang terkumpul. Sedangkan pada tahap analisis ditempuh dengan menggunakan deskripsianalitis, de-ngan tujuan untuk menemukan pokok permasalahan dari rincian-rincian data sehingga dapat dipero-leh pemahaman yang tepat dan menyeluruh.

1.4. Sistematik Penulisan

Sistematik penulisan dalam makalah ini terdiri dari 5 (lima) bab yang bertujuan agar pembaca dapat memahami dan mengerti isi dari laporan ini, yang terdiri dari :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis menjelaskan tentang latar belakang, batasan masalah dan sistematika penulisan dari KARYA ILMIAH ini.

BAB II LANDASAN TEORI

Berisikan tentang landasan teori yang digunakan.

BAB III HASIL DAN ANALISA

Berisikan tentang Hasil dan Analisa dari Karya Ilmiah yang di buat.

BAB IV PENUTUP

Berisi kesimpulan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.




BAB II

Landasan Teori


2.1. Metode Penelitian


2.1.1. Pendekatan dan Wilayah Studi


Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kualitatif dan sepenuhnya bersipat kepustakaan (library research) dengan mengguna-kan pendekatan historis fenomeno-logis. Pendekatan ini memandang realitas kesejarahan sebagai sistem sosial dan kultural yang dinamis, dan hal ini bisa dipahami melalui pemahaman terhadap esensi realitas sebagai perwujudan dari doktrin agama. Oleh karena itulah, pendekatan sejarah dan fenomenologi dijadikan sebagai satu bidang kajian dalam mendekati dan memahami pluralitas kehidupan beragama. Adapun wilayah kajian penelitian ini adalah meliputi landasan etisnormatif dan landasan teoritis tentang dialog keagamaan dari para penstudi agama.


2.1.2. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Sehubungan yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah pemikiran, maka beberapa data yang akan ditelaah adalah yang memiliki relevansi dan mendukung terhadap pokok masalah, yaitu pemikiran yang dipilih dari para ahli dan tema bahasan yang terkait. Ada dua sumber data yang bisa dikumpulkan dalam penelitian ini, yaitu sumber data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari beberapa pemikiran atau teori yang berhubungan de-ngan pluralisme agama dan dialog keagamaan. Sedangkan data sekunder didapat dari beberapa pemikiran atau teori yang memiliki relevansi sekaligus mendukung terhadap gagasan dan pemikiran dialog kerukunan. Adapun dalam proses pengumpulan datanya langkah awal yang ditempuh adalah studi konseptual, yaitu mengkaji data-data primer yang dilengkapi pula dengan telaah atas data-data sekunder tentang dialog kerukunan.




Bab III

Hasil dan Analisis


3.1. Pengertian dan latarbelakang perlunya dialog

Dialog selalu bermakna menemukan bahasa yang sama, tapi bahasa bersama ini diekspresikan dengan katakata yang berbeda. Dialog bisa didefinisikan sebagai pertukaran ide yang diformulasikan dengan cara yang berbeda-beda. Oleh karena itu, setiap usaha mendominasi pihak lain harus dicegah; kebenaran satu pihak tidak berarti ketidakbenaran di pihak lain. Bahasa bersama lebih dari sekedar kemiripan pembahasan; dia berdasarkan kesadaran akan masalah bersama, kita butuh alat demi mencapai landasan bersama. Demikian pula, bahwa dialog antaragama bukan hanya sekedar memberi informasi, mana yang sama dan mana yang berbeda, antara ajaran satu agama dengan lainnya. Juga, dialog antar-agama bukan merupakan suatu usaha agar orang yang berbicara menjadi yakin akan kepercayaannya, dan menjadikan orang lain mengubah agamanya kepada agama yang ia peluk. Dialog bukanlah suatu studi akademis terhadap agama, juga bukan merupakan usaha untuk menyatukan semua ajaran agama menjadi satu, atau, dialog antaragama bukan suatu usaha untuk membentuk agama baru yang dapat diterima oleh semua pihak. Bukan pula berdebat adu argumentasi antara pelbagai kelompok pemeluk agama, hingga ada yang menang dan ada yang kalah. Tetapi, dialog antaragama adalah “pertemuan hati dan pikiran antar pemeluk pelbagai agama”. Dialog adalah “komunikasi antara orang-orang yang percaya pada tingkat agama”. Dialog adalah “jalan bersama untuk mencapai kebenaran dan kerjasama dalam proyek-proyek yang menyangkut kepentingan bersama”. Ia merupakan perjumpaan antar pemeluk agama, tanpa merasa rendah dan tanpa merasa tinggi, dan tanpa agenda atau tujuan yang dirahasiakan.
Dialog keagamaan muncul, ketika hubungan antar umat beragama mengalami keretakan dan ketegangan. Mungkin saja, kete-gangan itu bukan didasarkan atas perbedaan keyakinan, karena, jika dasar teologis dan doktrinal dari agama-agama mengajarkan sikap toleransi, saling menghormati dan mencintai, maka penyebab gesekan-gesekan dan keretakan itu bisa saja terjadi sebagai akibat : pertama, sebagai bias dari kepentingan po-litik, ekonomi, dan kedangkalan beragama manusia; dan kedua, kemungkinan konflik antar umat beragama terjadi karena kurangnya masyarakat dalam memahami ajaran-ajaran dan pesan-pesan moral dari agama membuat masyarakat menyikapi “klaim kebenaran” dalam agama secara berlebihan.
Berdasarkan analisis Hugh Goddard, dapat disimpulkan bahwa akar dan sumber konflik adalah: Pertama, karena “ketidaktahuan”. Diantara penganut agama, khususnya Kristen-Islam, saling tidak tahu-menahu jauh lebih besar dibandingkan saling pengertian. Saling ketidaktahuan ini, menjadi rintangan di tengah jalan untuk mencapai saling pengertian di antara penganut agama yang berbeda. Kedua, ada hubungannya dengan yang pertama, bahwa akibat ketidaktahuan itu, maka hubungan antara umat beragama yang berbeda, khususnya Muslim dengan Kristen, adalah penerapan ‘standar ganda’. Dengan kata lain, kaum Muslim dan Kristen masing-masing menerapkan serangkaian standar atau kriteria untuk keyakinannya sendiri dan serangkaian standar yang sama sekali berbeda untuk kepercayaan orang lain.


3.2. Perlengkapan Dialog

Terjadinya dialog, atau proses dialog ada hubungannya de-ngan pemahaman agama orang lain yang bukan hanya memahami aga-ma kita sendiri. Oleh karena itu, memahami agama orang lain ada-lah penting bagi para pelaku dialog, sehingga tidak terjadi salah penger-tian dan dialog berjalan secara har-monis, dan saling menjunjung ting-gi nilai-nilai moral dan nilai-nilai universal yang ada pada masing-masing agama. Sebab, kedua nilai itu merupakan ‘esensi kemanusia-an’ yang diajarkan semua agama. Untuk memahami agama orang lain itu haruslah pemahaman yang bersipat integral bukan parsial. Oleh karena itu, diperlukan beberapa persyaratan dan kelengkapan, anta-ra lain : kelengkapan yang pertama, sipatnya intelektual. Untuk supaya dapat memahami agama atau fenomena agama secara menyeluruh, informasi yang penuh perlu dimiliki. Salah satu kelengkapan intelektual yang sangat penting adalah mempelajari dan memahami bahasa agama. Kelengkapan kedua, di-perlukan kondisi emosional yang cukup. Dalam memahami agama orang lain, harus ada “feeling”, perhatian, matexis atau partisipasi. Salah satu cara untuk menimbulkan rasa simpati adalah melalui pengalaman bergaul dengan mereka yang berbeda agama. Dan, kelengkapan ketiga adalah kemauan. Kemauan orang yang ingin mempelajari aga-ma orang lain harus diorientasikan ke arah tujuan yang konstruktif.
Kriteria atau persyaratan lain dalam proses menuju dialog itu, sebagaimana dikemukakan oleh Husein Shahab , adalah kriteria-kriteria filosofis tanpa terjebak oleh simbolsimbol agama. Bila seorang penganut keyakinan mengukur keyakinan agama lain melalui kaca-matanya sendiri, maka penilaiannya mengandung banyak unsur subjektivisme, dan hal demikian pasti akan menimbulkan kontradiksi. Bila Realitas Tertinggi pada hakekatnya adalah Satu, maka secara otomatis prinsip-prinsip filosofis yang digunakan semua agama adalah satu juga. Inilah yang harus dijadikan kriteria. Yang seharusnya dipertahankan bukan simbol agama, melainkan Kebenaran yang se-benarnya dikejar oleh setiap (pe-nganut) agama. Bila fenomena beragama komunitas manusia se-perti ini, maka konflik beragama mustahil ada. Kalaupun terjadi, konflik tidak timbul karena miskonsepsi penganut tentang Kebenaran, melainkan pada faktor-faktor ke-pentingan eksternal seperti politik dan ekonomi. Kalau seorang pastor duduk dengan seorang ulama, bila keduanya benar-benar memahami prinsip-prinsip universal, maka konflik agama tidak akan ada. Sebab, yang dikejar oleh kedua pihak adalah Kebenaran sejati. Jadi, tidak perlu ada seorang Kristiani berjiwa Muslim atau seorang Muslim berjiwa Kristiani agar tercipta hubungan harmonis antar umat beragama.
Menurut Ignas Kleden bahwa, dialog antar agama nampaknya hanya bisa dimulai dengan adanya keterbukaan sebuah agama terhadap agama lainnya. Keterbu-kaan ini bisa di lihat dari : Pertama, segi-segi mana dari suatu agama yang memungkinkannya terbuka terhadap agama yang lain, pada tingkat mana keterbukaan itu dapat ditolerir, dan juga dalam modus yang bagaimana keterbukaan itu dapat dilaksanakan. Kedua, bagaimana agama menjadi jalan dan sebab seseorang atau sekelompok orang terbuka kepada kelompok orang yang bergama lain. Oleh karena itu, dalam suatu proses dialog, tujuannya tentu saja bukan untuk membuat suatu kesamaan pandangan, apalagi keseragaman, karena ini adalah sesuatu yang absurd dan agak mengkhianati tradisi suatu agama. Yang dicari adalah mendapatkan titik-titik perte-muan yang dimungkinkan secara teologis oleh agama kita sendiri.

3.3. Prinsip dasar dan norma dalam Dialog

Dalam Islam, misalnya, se-bagaimana dikemukakan oleh Ismail R Faruqi , memiliki norma-norma tersendiri supaya bisa berlangsung dialog antaragama. Dialog yang bukan hanya sekedar pertukaran informasi, seremonial, dan basabasi, tetapi dialog itu harus mempunyai sebuah norma keagamaan yang dapat mendamaikan berbagai perbedaan di antara agama-agama. Menurutnya, Islam menemukan norma ini di dalam din al fitrah. Atas dasar norma ini, Islam memiliki teori yang sangat kuat sehubungan dengan agama Yahudi dan Kristen yang tidak dianggapnya sebagai “agama-agama lain”, tetapi sebagai dirinya sendiri. Persatuan agama Ibrahim: agama Yahudi, Kristen dan Islam adalah ber-dasarkan konsep hanifi, din alfirah, adalah suatu kemungkinan yang nyata. Demikian pula dalam Kristen, sebagaimana dikemukakan oleh Raimundo Panikkar , bahwa norma-norma keagamaan yang bisa dijadikan pijakan dalam dialog, atau, menurut pemahamannya, adalah “perjumpaan agama harus benar-benar bersipat keagamaan”, adalah : 
1) Harus bebas dari apologi khusus
2) Berani menghadapi tantangan pertobatan.Supaya perjumpaan itu bersipat keagamaan, ia harus taat secara penuh pada kebenaran dan terbuka pada realitas. Ia harus sadar bahwa ke-mungkinan akan kehilangan sesuatu keyakinan khusus atau bahkan agamanya sendiri
3) Dimensi his-toris penting tetapi tidak mencukupi perjumpaan agama bukanlah perjumpaan para ahli sejarah, melainkan suatu dialog yang hidup, suatu medan untuk pemikiran kreatif dan jalan-jalan baru yang ima-jinatif, yang tidak memutuskan hubungan dengan masa lampau melainkan meneruskan dan mem-perkembangkannya
4) Bukan sekedar Simposium Teologis.Perjumpaan agama bukanlah sekedar usaha untuk membuat orang luar memahami maksud kita. Tetapi yang lebih penting adalah meresapi lebih dahulu apa yang akan ditafsirkan mendahului setiap penjelasan (yang kurang lebih masuk akal). Misalnya, menyamakan kon-sep Brahman dalam Upanisad de-ngan ide Yahweh dalam Alkitab, jelas keliru
5) Perjumpaan agama dalam iman, harapan dan kasih.Sekalipun peristilahan ini bernada Kristiani tetapi maknanya bersipat universal.
Pada tingkat praktis perjumpaan agama atau dialog dibutuhkan, paling tidak, tiga hal:
1) Persiapan yang sama,yang berarti persiapan kultural dan teological. Setiap dialog, termasuk dialog agama, tergantung pada panggung budaya dari pelakupelaku dialog. Mengabaikan perbedaan budaya yang melahirkan kepercayaan agama berbeda-beda, sama dengan menghendaki kesalah pahaman yang tak terelakkan.
2) Ada kepercayaan timbal balik yang nyata antara mereka yang terlibat dalam perjumpaan, tak ada satu pihak pun “menyembunyikan” keyakinan pribadinya.
3) Permasalahan yang berbeda-beda” (teologis, praktis, institusional, dsb.) harus secara cermat dibeda-bedakan, kalau tidak akan terjadi kekacauan.
A. Mukti Ali memberikan petunjuk praktis pula berkenaan dengan rencana atau persiapan dialog antar pemeluk agama, sehingga bisa tercapai sasaran dan tujuan berdialog, yakni : 
1) Memahami elemen-elemen yang sama dan berada dalam setiap agama, sejarah dan peradabannya.
2) Menghormati integritas agama dan kebudayaan orang lain.
3) Memberikan sumbangan yang nyata untuk kehidupan antar agama yang har-monis.
4) Mengukuhkan komitmen bersama untuk berusaha menciptakan kehidupan yang adil dan sejahtera.
5) Berusaha bersama untuk memperkaya kehidupan spiritual dan agamis.
6) Selain itu, setiap peserta dialog harus menjauhi : 
7) Perbandingan yang tidak wajar terhadap ajaran suatu agama dengan yang lainnya, atau membuat karikatur terhadap ajaran agama lain.
8) Usaha apa pun untuk memaksakan penyelesaian yang sinkretik.
9) Usaha terselubung untuk saling memindahkan agama orang lain dari agama yang dipeluk.
10) Merasa puas dengan koeksistensi yang statis.
11) Sikap permusuhan terhadap tetangga yang bukan seagama dengan kita.


3.4. Tujuan dialog

Ada beberapa alasan dan tujuan perlu dilakukan dialog antar agama, antara lain ada alasan-alasan sosiologis dan teologis. Alasan-alasana sosiologis antara lain :
1) Pluralisme agama di dunia adalah suatu kenyataan yang makin lama makin jelas kelihatan, karena makin mudahnya berkomunikasi.
2) Semakin tinggi keinginan untuk mengadakan hubungan dengan lainnya. Isolasionisme selain ditinggalkan, juga tidak mungkin dilakukan. Apalagi aspek kesamaan antar kelompok umat manusia dan agama yang satu dengan yang lain semakin diakui dan dirasakan daripada apa yang memisahkannya.
3) Dialog antaragama membantu kepada setiap peserta untuk tumbuh dalam kepercayaannya sendiri, manakala ia berjumpa dengan orang yang berlainan a-gama dan bertukar pikiran tentang berbagai keyakinan dan amalan yang diyakini dan diamalkan oleh masing-masing pemeluk agama.
4) Selain nilai positif bagi individu dalam dialog, terdapat pula saling memperkaya antara agama-agama yang dipeluk oleh orang-orang yang mengambil bagian dalam dialog. Misalnya, dalam dialog antaragama, Islam dapat menyumbangkan pada agama lain peningkatan inspirasi dan universalitas.
5) Dialog antaragama dapat membantu untuk meningkatkan kerjasama di antara para penduduk suatu negeri, hingga dengan demikian, dalam kondisi saling menghargai, keadilan, perdamaian dan kerjasama yang bersahabat, dapat mem-bangun negeri mereka.
Adapun alasan-alasan teologis, antara lain :
1) Bahwa seluruh umat manusia hanya mempunyai satu asal, yaitu Tuhan, dan diciptakan untuk tujuan akhir yang sama, yaitu Tuhan sendiri. Oleh karena itu, hanya ada satu rencana Tuhan bagi setiap manusia ini, satu asal dan satu tujuan. Per-bedaan itu ada, tetapi diban-dingkan dengan persamaan-persamaan yang begitu banyak dan fundamental, maka perbedaan-perbedaan itu tidak begitu penting
2) Semua umat manusia adalah satu, dan kesatuan inilah yang mendorong manusia untuk me-ningkatkan perdamaian universal.
3) Karena alasan-alasan teologis inilah, maka agama-agama me-ngambil sikap positif terhadap agama-agama yang bukan aga-manya sendiri. Dan hal ini bisa dilakukan dengan dialog dan kerjasama dengan para pengikut agama lain untuk bersamasama mengenal, memelihara, dan meningkatkan perbuatan-perbuatan spiritual dan moral yang terdapat pada orang-orang yang beragama lain, juga nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat dan kebudayaan mereka.
4) Dengan demikian, dialog antar agama bukan merupakan tindakan akademis saja, ia bukan merupakan diskusi filosofis dan teologis; ia merupakan perbu-atan agama.
5) Dialog adalah usaha untuk keselamatan, dan itu adalah bagian dari tujuan total dari agama.


3.5. Bentuk-bentuk Dialog

A.Mukti Ali memberikan bentuk-bentuk umum dialog antar agama yang bisa dan biasa dilakukan, diantaranya : 
1) Dialog kehidupan; pada bentuk ini, orang dari pelbagai macam agama dan keyakinan hidup bersama, dan kerjasama untuk saling memperkaya kepercayaan dan keyakinannya masing-masing, dengan perantaraan melakukan nilai-nilai dari agama masing-masing tanpa diskusi formal. Hal ini terjadi pada keluarga, sekolah, angkatan bersenjata, rumah sakit, industri, kantor, dan negara. Juga, dialog antar kebuda-yaan, karena kebudayaan itu dipe-ngaruhi oleh agama.
2) Dialog dalam kegiatan sosial; dalam bentuk ini bertujuan untuk meningkatkan harkat umat manusia dan pembebasan integral dari umat manusia. Pelbagai macam pemeluk agama dapat mengadakan kerja sama dalam melaksanakan proyek-proyek pembangunan, dalam meningkatkan kehidupan keluarga, dalam proyek bersama untuk membantu rakyat yang menderita dari kekeringan, kemiskinan, kekurangan makan, dan terutama meningkatkan keadilan dan perdamaian.
3) Dialog komunikasi pengalaman agama; adalah mengambil bentuk komunikasi pengalaman agama, doa dan meditasi. Dialog semacam ini hanya bisa dilakukan (intermo-nastik) oleh para pemimpin agama saja, atau oleh orang yang ingin mengetahui kehidupan pemimpin-pemimpin agama lain.
4) Dialog untuk doa bersama, yaitu suatu bentuk dialog yang sering dilakukan dalam pertemuan-pertemuan agama internasional, yang didatangi oleh pelbagai kelompok agama yang beraneka ragam. Setiap orang bisa berdoa dengan cara dan menurut keyakinannya masing-masing. Misalnya tentang doa perdamaian dunia, sebagaimana telah dilakukan dialog seperti ini pada tanggal 27 Oktober 1986 di Assisi, yakni “Hari Doa Sedunia untuk Perdamaian.
5) Dialog diskusi teologis, dimana para ahli agama tukar menukar informasi tentang keyakinan, kepercayaan, dan amalan-amalan agama masing-masing, dan berusaha untuk mencari saling pengertian dengan perantaraan diskusi itu.

Bentuk atau model dialog tersebut hampir sama dengan yang diajukan Azyumardi Azra, yakni dialog parlementer, dialog kelembagaan, dialog teologi, dialog dalam masyarakat dan kehidupan, dan dialog kerohanian. Dalam dialog parlementer melibatkan ratusan pe-serta, seperti telah dilakukan di Chicago pada tahun 1893: World’s Parliament of Religions. Pada tahun 1980an dan 1990an, dialog semacam ini sering dilakukan dibawah pengawasan organisasi-organisasi multiagama, seperti World Conference on Religion and Peace (WCRP), dan the World Congress of Faiths (WCP). Inti dan tujuan dialog parlementer ini adalah untuk menggalang kerja-sama dan perdamaian di antara berbagai kelompok agama. Adapun dialog kelembagaan adalah seperti yang telah dilakukan oleh pemerin-tah Indonesia yang melibatkan majlismajlis agama seperti Majlis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Konperensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisadha Hindu Dharma, dan Perwalian Umat Buddha Indonesia. Sedangkan dia-log kerohanian bertujuan untuk menyuburkan dan memperdalam kehidupan spiritual di antara berbagai agama. Bentuk dialog seperti ini adalah melalui aspek esoteris agama, seperti ditawarkan oleh Schuon (1975), Schimmel & Falaturi (1979), dan Sayyed Hossein Nasr dalam berbagai bukunya.

Raimundo Pannikar , menyebutkan adanya “dialog yang dialektis” dan “dialog yang dialogis”. Dialog yang dialektis mengandaikan bahwa kita adalah makhluk rasional dan bahwa pengetahuan kita terutama diatur oleh prinsip nonkontradiksi. Kita akan menyodorkan sudut pandang kita masing-masing kepada Pengadilan Rasio, terlepas dari apa pun keyakinan kita terhadap hakekat rasio tersebut. Dialog yang dialektis mempercayai kebenaran rasio. Dialog yang dialektis adalah sebuah dialog tentang objek-objek yang dalam bahasa Inggris dinamakan “subjectmatter” (pokok bahasan). Sedangkan dialog yang dialogis, adalah sebuah dialog antara subjeksubjek yang memang bertujuan menjadi sebuah dialog mengenai subjeksubjek. Mereka berdialog bukan mengenai sesuatu, melainkan mengenai diri mereka sendiri, mereka mendialogkan diri sendiri. Singkatnya, jika semua pemikiran adalah dialog, maka tidak semua dialog bersipat dialogis. Dialog yang dialogis dapat mentransendensikan realitas dialektis mela-lui hubungan I/Thou, tidaklah dapat direduksi dalam hubungan I/It apa pun atau I/nonI, untuk dapat dikatakan samasama bersipat ultim.
Agar komunikatif dan terhindar dari perdebatan teologis antar pemeluk (tokoh) agama, maka pesan-pesan agama yang sudah direinterpretasi selaras dengan uni-versalitas kemanusiaan menjadi modal terciptanya dialog yang harmonis. Jika tidak, maka proses dialog akan berisi perdebatan dan adu argumentasi antara berbagai pemeluk agama sehingga ada yang menang dan ada yang kalah. Dialog antar agama, justru membiarkan hak setiap orang untuk mengamalkan keyakinannya dan menyampaikannya kepada orang lain. Dialog antar agama adalah pertemuan hati dan pikiran antar pemeluk berbagai agama yang bertujuan mencapai kebenaran dan kerja sama dalam masalah-masalah yang dihadapi bersama. Tentu saja, tuntutan peran negara yang positif dalam memperlakukan agama. Agama bukan hanya dipandang sebagai instrumen mobilisasi politik, tetapi yang lebih penting adalah memperlakukannya sebagai sumber etika dalam interaksi, baik di antara se-sama penguasa maupun antara penguasa dengan rakyat. Kalau etika pluralisme ini dapat ditegakkan, maka tidak perlu terjadi rangkaian kerusuhan, pertikaian, dan perusakan tempat-tempat ibadah. Jika orang melakukannya, berarti ia tidak memahami ideologi pluralisme, atau tidak memahami agamanya sendiri. Kalau sikap pemeluk agama seperti demikian, maka konflik antar agama akan menjadi tontonan sehari-hari.
Dialog kultural dan struktural belum terlihat jelas dalam praktek kehidupan, khususnya di Indonesia. Dialog kultural berangkat dari pemahaman bahwa sejak awal agenda agama-agama diwahyukannya adalah berdialog dengan budaya umat manusia. Mendialogkan agama dengan budaya merupakan tugas yang dibebankan pada kaum “elite agama”, sebab, merekalah yang banyak tahu tentang norma-norma agama. Sedangkan dialog struktural berangkat dari pemahaman bahwa hubungan antara agama dengan institusi-institusi agama sosial lainnya berlangsung setengah hati. Persoalan sosial ekonomi, seperti kesenjangan, telah ikut memancing emosi keberagamaan masyarakat. Demikian pula, politik yang penuh limbah telah ikut mengeruhkan suasana keagamaan yang telah terjalin begitu lama. Agama sebagai sebuah institusi tidak diposisikan secara otonom dan diferensial, ia hanya didekati sebatas kepentingan legitimasi belaka.

3.6. Hambatan dialog dan kerukunan

3.6.1. Problem Penafsiran
Seringkali persoalan keagamaan yang muncul adalah terletak pada problem penafsiran, atau pemahaman, bukan pada benar tidaknya agama dan wahyu Tuhan itu sendiri . Sehingga, masalah kerukunan keagamaan termasuk didalamnya dialog antar umat beragama harus menjadi wacana sosiologis dengan menempatkan doktrin keagamaan sebagai dasar pengembangan pemuliaan kemanusiaan. Menurut Ninian Smart, bertambahnya pengetahuan atau pemahaman akan berakibat melunakkan permu-suhan, dan dalam tahap ini berarti meningkatkan kesepakatan.
Sementara itu, melihat kondisi kehidupan beragama sekarang ini, konflik antar umat beragama, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Kejadian tersebut tidak hanya atas dasar perbedaan agama tetapi juga terjadi antara orang atau kelompok-kelompok dengan agama yang sama. Maka, kerukunan yang perlu dibangun bukan hanya kerukunan antar agama, melainkan juga kerukunan antar orang atau kelompok dalam agama yang sama. Oleh karena itu, kiranya konflik berwajah agama perlu dilihat dalam kaitan-kaitan politis, ekonomi, ataupun sosal budayanya. Apabila benar bahwa konflik itu murni konflik agama, maka masalah kerukunan sejati tetap hanya dapat dibangun atas dasar nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan hak asasi manusia, yang menyentuh keluhuran martabat manusia. Makin mendalam rasa ke-agamaan, makin mendalam pula rasa keadilan dan kemanusiaan. Seandainya tidak demikian, agama tidak mengangkat keluhuruan martabat manusia.

3.6.2. Klaim Kebenaran (truth claim)

Setiap agama memiliki kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran sosiologis, klaim kebenaran berubah menjadi simbol agama yang dipahami secara subyektif personal oleh setiap pemeluk agama. Nampaknya, setiap orang memang sulit melepaskan kerangka (frame) subyektivitas ketika keyakinan pribadi berhadapan dengan keyakinan lain yang berbeda. Sekalipun alamiah, namun setiap manusia mustahil menempatkan dua hal yang saling berkontradiksi satu sama lain dalam hatinya. Oleh karena itu, setiap penganut agama tidak harus memaksakan inklusivismenya pada orang lain, yang menurut kita eksklusif.

3.6.3. Standar Ganda

Hugh Godard , seorang Kristiani yang ahli teologi Islam di Nottingham University, Inggris, memberikan contoh bahwa “hubungan Kristen dan Islam kemudian berkembang menjadi kesalahpahaman, bahkan menimbulkan suasana saling menjadi ancaman di antara keduanya, adalah suatu kondisi berlakunya “standar ganda” (double standars). Orang-orang Kristen maupun Islam selalu menerap-kan standar-standar yang berbeda untuk dirinya, sedangkan terhadap agama lain mereka memakai standar lain yang lebih bersipat realistis dan historis. Misalnya, dalam masalah teologi, ada standar yang menimbulkan masalah klaim kebenaran : “agama kita adalah agama yang paling sejati karena berasal dari tuhan, sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusia. Agama lain mungkin juga berasal dari Tuhan tapi telah dirusak, dipalsukan oleh manusia”. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah agamanya. Lewat standar ganda inilah, kita menyaksikan munculnya prasangka-prasangka teologis yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan antar umat beragama.
Dalam hubungannya dengan itu, Arthur J. D’Adamo, seorang ilmuwan sekuler (ahli Matematika abad 20 ini), menyatakan bahwa “berbagai kompleksitas hubungan antar umat beragama ini, dengan berbagai standar ganda, sering dianggap sebagai tanda ketidak-kritisan cara berfikir agama, atau dalam istilahnya disebut sebagai religion’s way of knowing. Oleh karena itu, “cara mengetahui agama” ini dianggap sebagai akar konflik-konflik teologis, yang menurutnya berawal dari sebuah standar tentang agamanya sendiri bahwa kitab sucinya itu yang merupakan sumber kebenaran yang sepenuhnya diyakini. Sehingga, standar-standar : 
1) Bersipat konsisten dan berisi kebenaran-kebenaran, tanpa kesalahan sama sekali.
2) Bersipat lengkap dan final dan karenanya memang tidak diperlukan kebenaran dari agama lain.
3) Meyakini kebenaran agamanya sendiri dianggap sebagai satu-satunya jalan keselamatan, pencerahan ataupun pembebasan.
4) Meyakini bahwa seluruh kebenaran itu diyakini orisinal berasal dari Tuhan, tanpa konstruksi manusia. Keempat standar itu semuanya diterapkan kepada agamanya sendiri sebagai “standar ideal”.
Sebaliknya, standar lain yang sepenuhnya terbalik, lebih realistis dan historis, diterapkan ke-pada agama lain. Sebagai konsekuensinya, melalui religion’s way of knowing ini, jadilah agama kita sebagai “agama yang paling sempurna di dunia ini”.
Menurut Nurcholish Madjid , bahwa untuk menghindarkan diri dari penilaian standar gan-da dalam melihat agama lain, yaitu dengan cara kita membaca agama kita dengan sisi--sisi ideal dan membandingkan agama lain dengan sisi-sisi real. Pada dasarnya setiap agama memiliki sisi-sisi ideal secara filosofis dan teologis, dan inilah yang sangat dibanggakan oleh penganut suatu agama jika mereka mulai mencari dasar rasional atas keimanan mereka. Namun demikian, setiap agama pun memiliki sisi real, yaitu suatu agama menyejarah dengan keagungannya atau kesalahankesalahan sejarah yang bisa dinilai dari sudut pandangan sekarang sebagai memalukan. Oleh karena itu, suatu dialog selalu mengandalkan kerendahan hati untuk membandingkan konsep-konsep ideal lain agama lain yang hendak dibandingkan, dan realitas suatu agama baik yang agung maupun yang memalukan dengan realitas agama lain yang agung dan memalukan itu.
Berdasarkan perkembangan dewasa ini, maka yang perlu dikembangkan adalah suatu teologi dan dialog inklusif sebagai salah satu cara untuk menumbuhkan sikap-sikap pluralistis di antara agama. Tanpa sikap inklusivitas tidak mungkin berkembang sikap-sikap pluralis. Salah satu sikap pluralistis adalah bersedianya berdialog, dan sebagai tujuan dari dialog antar agama adalah, salah satunya, “kesalingpahaman”. Misinya adalah mengkomunikasikan pandangan masing-masing dalam rangka menjembatani ketidaktahuan dan kesalahpahaman antara satu dan lain agama. Membiarkan setiap penga-nut agama mengungkapkan pandangan teologis mereka dengan ekspresi bahasa mereka sendiri.

3.6.4. Tantangan Agama-agama Dewasa ini

Tantangan agama-agama dewasa ini, adalah menjadi problema atau hambatan bagi suasana dan perkembangan dialog dan kerukunan antar umat beragama. Dalam melihat dan memahami perkembangan kehidupan agama dan keberagamaan sekarang, pada umumnya cenderung melihat perbedaannya ketimbang persamaannya. Namun demikian, kecende-rungan melihat perbedaan itu pun tidak perlu disalahkan karena setiap orang beriman senantiasa ingin mencari, menggenggam dan membela kebenaran yang diyakininya berdasarkan pengetahuan dan tradisi yang dimilikinya. Sikap demikian sangat terpuji selama tidak menimbulkan situasi sosial yang destruktif. Secara empiris adalah suatu kemustahilan jika kita mengidealisasikan munculnya kebenaran tunggal yang tampil dengan format dan bungkus tunggal, lalu ditangkap oleh manusia dengan pemahaman serta keyakinan yang seragam dan tunggal pula. Oleh karena itu, tantangan yang selalu kita hadapi antara lain adalah bagaimana merumuskan langkah konstruktif yang bersipat operasional untuk mendamaikan berbagai agama yang cenderung mendatangkan pertikai-an antar manusia dengan mengatas namakan kebenaran Tuhan.
Usaha itu tidak hanya diarahkan pada hubungan antar pemeluk agama secara eksternal, melainkan terlebih dahulu diarahkan pada hubungan intra umat beragama. Seseorang akan sulit bersikap toleran terhadap agama lain jika terhadap sesama pemeluk agama yang sama saja sulit untuk menghargai perbedaan paham yang muncul. Pada sisi lain, seringkali kita jumpai pula, konflik antara pemeluk agama semakin tidak jelas manakala kepentingan agama sudah berbaur dengan kepentingan etnis, politis dan ekonomis . Lihat, misalnya berbagai kasus, seperti di Maluku, Sampit, dan peristiwa-peristiwa “yang berbau” konflik agama lainnya.
Tantangan lain yang dihadapi sekarang ini berkaitan dengan munculnya “ketidak percayaan” manusia kepada agama formal (organized religions). Akhirakhir ini muncul istilah New Age, zaman Baru, dimana ada usaha meninggalkan agama-agama yang terorganisasi (organized religions) yang dipandangnya cenderung miskin akan nilai-nilai spiritualitas dan kemanusiaan. Muncul dalil dari John Naisbitt dan istrinya Aburdene untuk menyimpulkan dalam satu statemen: spiri-tuality, yes; organizes religion, no!. Bagi mereka, penganut New Age, agama-agama formal (organized reli-gions) tidak memiliki masa depan. Yang bertahan bagi mereka adalah pesan-pesannya yang universal, sehingga ritusritus formal dan label-label yang membungkusnya akan semakin ditinggalkan orang. Thomas Jefferson dan Albert Ein-stein adalah dua tokoh terkemuka sebagai penganut aliran semacam deisme alami ini.
Kemunculan New Age, ber-awal dari penilaiannya bahwa kebangkitan peradaban Barat kosong dari nilai-nilai spiritualitas dan lepas dari tuntunan ajaran-ajaran keagamaan Kristen, yang menjadi agama resmi saat itu. Karena itu, gerakan New Age berpaling dari agama-agama Barat untuk kemu-dian mengarahkan kepada agama-agama Timur semisal Hinduisme, Buddhisme, Taoisme, agama asli Amerika, dll. Namun demikian, karena agama-agama Timur yang formal itu juga terkadang cenderung tidak toleran terhadap keyakinan yang dipegang oleh pemeluk agama yang berbeda, maka gerakan New Age tidak terbatas hanya pada satu keyakinan saja, tetapi mencampur adukkan pemikiran-pemikiran esoteris agama-agama formal itu. Salah satu fenomena New Age yang paling ekspresif, adalah men-jadikan istilah “Tao” sebagai istilah kepustakaannya, suatu istilah yang mencoba melakukan perpaduan rasionalitas Barat dengan kearifan Timur. Seolaholah Tao menjadi bagian dari bahasa Inggris untuk menunjukkan “kearifan”. Tidak heran muncul judul-judul buku yang berparadigama Tao, seperti The Tao of management, the Tao of Leadershif, dll. Dalam refleksi keagamaan kita menemukan the Tao of Jesus (1994), the Tao of Islam (1993) tulisan seorang ahli sufi Sachiko Murata.
Bagi kita, penting untuk mernghadirkan ajaran-ajaran agama kepada mereka untuk bisa membuktikan bahwa betapa pentingnya peran keyakinan akan ketuhanan (menanamkan nilai-nilai ilahiyah, sebab kehidupan manusia yang otentik adalah yang tetap dan men-jaga terus “tali” yang menghubungkan kemanusiaannya dengan nilai-nilai ketuhanan. Demikian juga halnya, agama dituntut melahirkan ajaran-ajaran yang lebih menyentuh nilai-nilai kemanusiaan tidak bersipat artifisial, bombastis dan verbalisme, yang sebenarnya hanya “di langit” saja. Demikian pula sebaliknya, ajaran agama tidak bisa hanya mewajibkan para penganutnya untuk secara formal menjalankan ritusritus yang diwajibkan, yang jika dilakukan diberi ganjaran (reward) dan jika diabaikan diberi siksa (punishment). Agama justru harus dihadirkan sebagai suatu kesadaran yang menjadi bagian dari nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Sebab, pada dasarnya ajaran itu dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran kemanusiaan.
Untuk itu, kenyataan dan tantangan yang kita hadapi adalah terjadinya kesenjangan antara ajaran dan pelaksanaan. Banyak orang yang mengaku dan menganut agama tetapi tidak beragama, dalam pengertian lain, banyak yang me-ngakui kewajiban dan pelarangan agama, tetapi tidak melaksanakan dan melanggarnya. Persoalannya, apakah “kesalahan” itu ada pada agama atau penganutnya? Nurcholish Madjid mempertegas, bahwa “jika agama tidak dapat mempengaruhi tingkah laku pemeluknya, maka apalah arti pemelukan itu?” Kenyataannya, banyak orang yang sangat serius memeluk agamanya tanpa peduli tuntutan nyata keyakinannya itu dalam amal perbuatan dan tingkah laku. Sementara, kita menemukan adanya orang-orang yang memiliki komitmen positif pada masalah sosial, tanpa memperdulikan pada keyakinannya “kesalehan tanpa iman” (piety without faith).






Bab IV

Penutup

4.1. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dialog antar agama merupakan pertemuan hati, pikiran, dan komunikasi antar pemeluk berbagai agama, sebagai jalan bersama untuk mencapai kebenaran dan kerjasama dalam berbagai hal yang menyangkut kepentingan bersama. Kemunculan dialog antar agama atau dialog keagamaan ini, berawal ketika hubungan antar umat beragama mengalami keretakan dan ketegangan, sekalipun, ketegangan itu bukan semata hanya didasarkan atas perbedaan keyakinan, tetapi bisa juga disebabkan sebagai bias dari kepentingan politik, ekonomi, dan kedangkalan beragama, terutama kurangnya masyarakat dalam memahami ajaran-ajaran dan pesan-pesan moral dari agama serta kekurangpahaman terhadap agama atau faham keagamaan orang lain. Dalam perkembangan selanjutnya, dialog keagamaan diperlukan guna memelihara dan meningkatkan kerukunan antar umat beragama.
Berbagai bentuk dialog keagamaan bisa dilakukan. Dua diantaranya yang memungkinkan bisa dilakukan secara kontinuitas dan berkesinambungan adalah dialog kelembagaan dan dialog “real” dalam kehidupan. Dialog kelembagaan merupakan dialog dalam bentuk formal yang dilakukan dan diupayakan oleh berbagai tokoh dan pemuka agama untuk membicarakan berbagai hal menyangkut kepentingan dan kerukunan umat beragama. Sedangkan dialog “real” dalam kehidupan sosial merupakan dialog pergaulan keseharian antar umat beragama dalam suasana saling memahami, pengertian, dan saling menghormati. Dialog keseharian ini bisa dilakukan manakala kesadaran beragama sudah tumbuh dan berkembang dikalangan para penganut agama. Sebab, kesadaran beragama merupakan kesiapan untuk memahami dan mengamalkan ajaran agamanya, serta, pada saat yang bersamaan kesiapan untuk ‘mengetahui’ agama orang lain.


Daftar Pustaka

Ahmad Norma Permata (ed), Metodologi Studi Agama, Pus-taka Pelajar, Yogyakarta, 2000
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Paramadina, Jakarta, 2001
Jajat Burhanudin, dkk, Sistim Siaga Dini (terhadap kerusuhan sosial), Badan Litbang Agama & PPIM-IAIN Jakarta, Jakarta, 2000.
M.Yusuf Asri, Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam Kehidupan Beragama dan Berbangsa di Indonesia, Departemen Agama RI, Jakarta, 2001.
Muhamad Hisyam, Budaya Kewargaan: Komunitas Islam Di Daerah Aman Konflik, LIPI Press, Jakarta, 2007
Sumanto Al-Qurtuby, Mendesain Kembali Format Dialog Agama, Kompas, 8 September 2008.

Sumber :

www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar